/ Berita Disnak / Detil

Disnak Sumbar   09 Februari 2019

Sapi Pesisir Terancam Punah


Meningkatnya permintaan pasar ditambah desakan kebutuhan, serta kebiasaan menjual ternak sebagai hewan kurban, menyebabkan tingkat pengeluaran ternak tergolong tinggi. Padahal, tingkat pengeluaran ternak untuk konsumsi seimbang mesti seimbang dengan laju pertumbuhan populasi. Penurunan populasi sapi pesisir ini juga berkaitan dengan sistem pemeliharaan yang ekstensif tradisional, tingginya pemotongan ternak produktif, keterbatasan pakan, penyusutan luas padang penggembalaan, dan penurunan mutu genetik .Makanya, perlu dilakukan perbaikan mutu genetik ternak melalui seleksi selain perbaikan pakan dan manajemen pemeliharaan. Dipertahorbunnak Kabupaten Pesisir Selatan (2012) mencatat selama tiga tahun terakhir penjualan dan pemotongan sapi betina produktif mencapai 16.000 ekor.

Sapi pesisir sangat diandalkan masyarakat Sumatera Barat dan Riau sebagai sumber daging sapi dan hewan kurban. Jika pemotongan ternak yang masih di bawah produktivitas optimum terus terjadi, maka ancaman terhadap kelestarian plasma nutfah bangsa sapi lokal ini tidak terelakkan lagi (Rusfidra 2005).

Ditinjau dari aspek genetik, sapi lokal lebih unggul di banding sapi impor, terutama tingkat ketahanan terhadap penyakit dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan tropis. Namun, keterbatasan manajemen terutama pakan menjadi penyebab produktivitas sapi lokal lebih rendah dibanding sapi impor. Program pemerintah mengintroduksikan sapi impor berukuran tubuh dan bobot badannya lebih besar, secara langsung mengubah penampilan sapi lokal yang terdapat di padang penggembalaan. Namun dari segi kearifan lokal, upaya ini mengakibatkan perhatian masyarakat terhadap pengembangan sapi pesisir menjadi berkurang. Untuk mempertahankan plasma nutfah sapi pesisir, selayaknya introduksi sapi impor diiringi dengan kebijakan untuk menjaga kelestarian potensi ternak lokal ini.

Sejumlah tantangan serius lainnya juga perlu mendapat perhatian berbagai pihak, terutama guna mempertahankan kelestariannya. 1) penurunan populasi yang tajam dalam satu tahun terakhir; 2) penurunan produktivitas ternak akibat terbatasnya sumber daya alam; 3) keterbatasan rumput di wilayah pengembangan sapi pesisir, sehingga hanya mampu mendukung pertumbuhan minimal; dan 4) peternak beralih memelihara sapi impor dan meninggalkan mengusahakan sapi pesisir. Menyikapi tantangan tersebut, pemerintah daerah perlu menyusun strategi dan kebijakan yang komprehensif, sistematis, terintegrasi secara vertikal maupun horizontal, berdaya saing dan berkelanjutan. Pengembangan sapi pesisir dapat dilakukan melalui pendekatan yang berkelanjutan, modern dan profesional dengan memanfaatkan inovasi teknologi.

Untuk meningkatkan produktivitas dan eksistensi sapi pesisir perlu dilakukan upaya perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan sapi pesisir melalui pemurnian genetik, peningkatan mutu genetik, pembatasan pengeluaran ternak, dan perbaikan manajemen pemeliharaan. Pemurnian genetik, keragaman genetik ternak lokal juga perlu dipertahankan untuk seleksi ataupun pemanfaatan gen tertentu guna mendapatkan produktivitas yang diinginkan. Oleh karena itu, mempertahankan keragaman genetik melalui konservasi penting dilakukan, baik dari aspek keilmuan maupun sosial ekonomi. Kemurnian, genetik sapi pesisir perlu dipertahankan sebagai cadangan plasma nutfah untuk pengembangan peternakan di masa datang tanpa mengurangi kesempatan perbaikan mutu genetiknya, melalui penetapan kawasan khusus untuk pemurnian genetik sapi pesisir.

Teknologi budi daya untuk meningkatkan produktivitas sapi pesisir mesti mencakup penerapan manajemen usaha ternak terpadu melalui; 1) pemilihan bibit atau bakalan unggul berdasarkan umur, ciri-ciri fisik, riwayat keturunan, dan kesehatan; 2) manajemen perkandangan dengan teknologi kandang standar; 3) manajemen pakan melalui introduksi hijauan makanan ternak unggul, pemanfaatan bahan pakan lokal dan hasil ikutan produk pertanian, sistem integrasi tanaman ternak, dan teknologi ransum seimbang berbasis lowexternal input sustainable agriculture (Leisa); 4) manajemen reproduksi dengan melakukan seleksi terhadap induk dan pejantan, mencegah terjadinya perkawinan keluarga (inbreeding), dan menerapkan teknologi IB; 5) pencegahan dan pengendalian penyakit secara periodik, terutama penyakit menular, vaksinasi, pemberantasan vektor penyakit, menyiagakan petugas lapang (tenaga medis veteriner), serta melaporkan kejadian penyakit kepada petugas dan dinas peternakan setempat.

Tingginya permintaan pasar dan desakan kebutuhan hidup menyebabkan tingginya tingkat pengeluaran ternak dari populasi, terutama ternak yang berproduktivitas tinggi, sehingga ternak yang tersisa rata-rata mempunyai kinerja produktivitas rendah. Bila kondisi ini tidak teratasi pada beberapa generasi mendatang, dikhawatirkan akan terjadi penurunan produktivitas ternak.

Pemecahan masalah ini harus melibatkan berbagai pihak, seperti dinas peternakan, perguruan tinggi, lembaga penelitian, pemerintahdaerah, asosiasi, pedagang dan peternak. Penegakan peraturan pemerintah/ undang-undang disertai dengan pengawasan dan peningkatan kesadaran berbagai pihak terkait, soal perlunya ditumbuhkembangkan keinginan melestarikan dan meningkatkan produktivitas sapi pesisir. Upaya pemerintah melalui dinas peternakan yang mengatur pengeluaran ternak terutama ternak produktif, diharapkan dapat menghambat laju penurunan mutu genetik sapi pesisir.

Pengembangan sapi pesisir dapat dilakukan melalui pendekatan yang berkelanjutan, modern dan profesional dengan memanfaatkan inovasi teknologi. Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Salah satu usaha untuk meningkatan populasi dapat dilakukan dengan bioteknologi reproduksi, seperti inseminasi buatan (IB) dan transfer embrio (TE). Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggul dalam bidang reproduksi untuk meningkatkan produktivitas ternak. Perkembangan bioteknologi sangat pesat dan mempunyai peluang untuk diterapkan dalam membantu secara teknis peningkatan populasi ternak. Melalui teknologi bioteknologi reproduksi dinilai dapat mengatasi tantangan dalam arti dapat memenuhi peningkatan produktivitas tanpa merusak sumber hayati lokal melalui upaya mengatasi kendala-kendala skala produksi yang kecil dari petani atau rendahnya produktivitas ternak asli lokal. Sumber: Padang Ekspres


Komentar Anda